Jumat, 18 Juni 2010

Pura Perancak


Mengapa Pura Perancak? karena ini berkaitan dengan tugas mata kuliah "Filsafat Arsitektur" di kampus saya..hehehe. Saya mendapatkan data ini dari berbagai sumber di internet dan datang langsung serta mewawancarai Pemangku pura ini. Langsung aja yak :)



Perancak dikenal sebagai desa nelayan yang ada di pesisir selatan Jembrana. Di desa ini pula terdapat sebuah pura yang diyakini sebagai cikal bakal Pura Dang Kahyangan di Bali. Pura tersebut adalah Pura Dang Kahyangan Gede Perancak.

Berdirinya pura ini tidak bisa dilepaskan dari kedatangan Danghyang Dwijendra ke Bali. Tetapi tahun berapa kedatangan Danghyang Dwijendra ke Bali tidak bisa dipastikan. Perkiraan yang sering dipakai adalah sekitar tahun 1015. Catatan sejarah yang bisa membuktikan ini pun belum ada.

Danghyang Dwijendra berhasil mencapai moksa. Ketika mencapai moksa, semua lontar mengenai beliau juga ikut moksa. Saat tiba pertama kali di Desa Jembrana Pinggir Pantai (sebutan Perancak zaman dulu), Danghyang Dwijendra mengajak istrinya Ida Ayu Mas Keniten dan tujuh putra. Beliau dan keluarga datang dari tanah Belambangan, Jawa Timur.

Sesampai di Jembrana Pinggir Pantai, beliau bertemu I Gusti Ngurah Rangsasa di Pura Usang, sebuah pura di tepi pantai. Ngurah Rangsasa yang mengemban Pura Usang memaksa Danghyang Dwijendra untuk sembahyang. Jika tidak, bahaya akan mengancam Danghyang Dwijendra dan keluarga. Awalnya, Danghyang Dwijendra menolak. Namun karena terus dipaksa, Beliau pun berkenan. Ketika Beliau me-mona dan meneng untuk bersemadi, pura tersebut roboh dan encak (hancur). Ngurah Rangsasa pun ketakutan. Dia lari ke arah utara hingga di Sawe. Sampai menemui ajalnya, dia berada di Sawe. Hingga kini daerah tersebut dikenal dengan nama Sawe Rangsasa. Sementara itu, Danghyang Dwijendra membangun kembali pura yang encak tersebut dan melanjutkan kembali perjalanan. Lama-kelamaan pura tersebut dikenal dengan nama Pura Encak atau Purancak atau Perancak. Di pura inilah umat Hindu melakukan pemujaan untuk Danghyang Dwijendra. Piodalan di pura ini dilaksanakan setiap Buda Umanis Anggara Kasih Medangsia atau 10 hari sesudah hari raya Kuningan.

Pura Perancak merupakan pusat Pura Dang Khayangan di Bali. 'Di sinilah pertama kali Danghyang Dwijendra mendarat dan mulai melakukan perjalanan. Bisa dikatakan mulai dari Pura Perancak-lah cikal bakal Pura Dang Kahyangan di Bali. Di utama mandala terdapat bangunan pelinggih Ratu Nyoman, pengayatan Besakih, pelinggih Batara Perancak, Meru Tumpang Tiga, Dewa Ayu Melanting, Padmasana, Gedong, Taksu dan Pengaruman. Di bagian depan utama terdapat tiga kori dan sepasang patung buaya kuning dan hitam. Buaya ini dipercayai sebagai kendaraan Ida Batara.

Di Pura Perancak terdapat pelinggih Meru Tumpang Tiga sebagai stana Danghyang Dwijendra. Di sebelah kiri Meru ada pelinggih Gedong, stana roh suci I Gusti Ngurah Rangsasa. Yang patut diperhatikan dari Pura Perancak ini adalah keberadaan pelinggih roh suci I Gusti Ngurah Rangsasa dan pelinggih Danghyang Dwijendra. Awal cerita I Gusti Ngurah Rangsasa itu memaksa orang untuk menyembah di puranya termasuk Danghyang Dwijendra. Hal itu sampai menimbulkan perselisihan dan bencana bagi pura yang kemudian bernama Pura Perancak. Setelah pura itu kembali seperti sedia kala perselisihan itu tidak dilanjutkan oleh para penyungsungnya. Justru dalam perkembangannya kedua roh sucinya dipuja dan distanakan dalam dua pelinggih yang berdampingan.


Salah satu tempat yang juga tidak bisa dipisahkan dari Pura Dang Kahyangan Gede Perancak adalah sumur baja, berjarak sekitar 250 meter di barat pura. Menurut Mangku Gede Nyoman Sadra, sumur ini sudah ada sejak zaman dulu. Pengelingsir atau sesepuh dari keluarga Mangku Gede pun tidak tahu persis kapan sumur ini dibuat. Dari keterangan lisan yang diperoleh, sumur ini dibuat oleh orang-orang Baja, Sulawesi. Ketika itu mereka datang ke Bali untuk berjualan pamor (gamping), garam dan sebagainya. Para pedagang ini berlabuh di pantai Perancak. Untuk memenuhi kebutuhan air, mereka membuat sumur. Anehnya, walaupun berada di pinggir pantai, air sumur ini tawar. ”Dibanding sumur-sumur warga Perancak, air di sumur Baja ini yang paling tawar,” ujar Mangku Gede. Dia menambahkan, jarak antara sumur dengan pantai hanya beberapa meter. Di sumur ini juga berdiri sebuah padma tempat menghaturkan sesajen. Kegunaan lain dari sumur ini adalah sebagai pasucian Ida Batara pada saat piodalan. Karena itulah, warga sekitar pura menyebut sumur ini semer beji. Hal lain yang menjadi ciri khas Pura Dang Kahyangan ini adalah pantangan bagi orang hamil dan larangan membawa mayat lewat di depan pura. ”Dari dulu sudah kepingit begitu. Warga juga mempercayainya,” kata mangku yang sebelumnya berprofesi sebagai nelayan ini. Jika ada warga Perancak yang hamil dan tinggal di barat pura, yang bersangkutan akan memilih jalan memutar melalui jalan selatan. Demikian pula jika yang hamil tinggal di timur pura, jalan dipilih juga jalan di sebelah selatan. Mereka tidak berani melanggar pantangan yang sudah dipercayai turun-temurun tersebut. Hal yang sama juga berlaku bagi warga yang meninggal. Warga di barat pura tidak akan mengusung mayat melewati jalan di depan pura.


dari kiri (Wawan, Sanjaya, Saya, Surwadi)